بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Assalamualaikum
Sebenarnya ini adalah sebuah cerpen yang saya kirim ke salah satu lomba
menceritakan kisah Ramadan yang tak terlupakan. Isinya tentu adalah kisah hidup
yang saya alami sendiri secara kenyataan, namun sedikit dibuat dengan model
bahasa cerpen. Saya tidak begitu peduli apakah cerpen ini menang atau tidak
nantinya. Justru yang saya pedulikan adalah pelajaran yang ingin saya bagikan
kepada semua yang membaca kisah ini. Belajar dari pengalaman orang itu
menyenangkan, karena kita tak perlu mengalami pahitnya gagal jika kita tidak
melakukan apa yang menyebabkan orang itu gagal dalam pengalaman hidupnya. Ambil
yang baik-baik, jangan lakukan apa yang seharusnya tidak saya lakukan dalam
cerita ini.
Semoga dapat
diambil pelajarannya.
===========================
“Sudah
kamu pasang kunci gembok untuk pagar belakang rumah?”Ibu bertanya. “Sudah Alif
pasang daritadi sore, Bu.” Jawabku sambil terburu-buru mengunyah
nasi.Malam ini adalah malam pertama bulan Ramadan.Wajar saja kalau malam ini
aku begitu cepat makan.Aku ingin segera menuju ke masjid untuk sholat Tarawih.
“Malam ini rumah kosong, Lif.Mau
pada Tarawih.Makanya jangan lupa pintu-pintu rumah nanti digembok semua sebelum
berangkat.” Lanjut Ibu.
“Siap, Bu! Yuk buruan biar nggak
kehabisan tempat.”
Ramadan kali itu
adalah Ramadan yang spesial bagiku. Ada banyak hal yang akan aku siapkan
setelah Ramadan ini berakhir nanti. Salah satunya adalah tes penempatan
instansi kerja yang akan aku hadapi tepat setelah Ramadan usai.
Aku
adalah lulusan akuntansi dari sebuah perguruan tinggi
kedinasan yang sangat berharap ingin menjadi seorang auditor. Sudah tak
terhitung jumlahnya aku berkali-kali mengatakan impianku itu di depan orang tuaku.
"Kalau
aku jadi auditor nanti, aku akan memilih menjadi auditor sistem informasi.Aku
yakin sekali aku pasti dapat sukses di sana karena aku punya dasar IT yang
cukup baik."Begitulah
kira-kira caraku mengutarakan cita-citaku kepada orang tua.
Memang
sebelum menjadi mahasiswa akuntansi, aku sempat mengenyam bangku kuliah Teknik
Informatika selama satu tahun.Kemudian karena
berbagai alasan dan pertimbangan akhirnya aku pindah.Sehingga aku masih punya
bekal mengenai dunia informatika.Dan menjadi auditor sistem informasi adalah
jalan untuk menggabungkan akuntansi dan informatika menjadi satu sekaligus menurutku.
Orang
bilang tahun 2013 adalah tahun sial.Aku tak percaya itu. Justru aku punya
firasat bahwa di tahun ini aku akan memperoleh sebuah hal yang besar.
Aku harap itu adalah penempatan instansiku.
Orang
juga bilang bahwa bulan Ramadan adalah bulan paling mujarab untuk
bermunajat.Ketika orang memohon ampunan di bulan ini,
maka dia diampuni.Ketika dia berhajad di bulan ini, maka hajadnya
dikabulkan.Kalau yang ini aku sangat yakin dan percaya. Untuk itulah aku akan
berusaha sekuat tenagaku untuk membuat Ramadan tahun 2013 itu
menjadi Ramadan terbaik sepanjang hidupku. Mudah-mudahan dengan begitu impianku
bisa dikabulkan.
"Wah,alhamdulillah
tahun ini sudah mulai bisa tarawih di masjid yang baru."Kataku
seusai pulang tarawih.
"Ya,
walaupun belum benar-benar jadi, tapi masjid yang baru ini akan diupayakan agar
bisa menampung jamaah selama Ramadan.Sekalian agar jamaah bisa melihat
bagaimana perkembangan masjid.Mungkin akan cukup banyak jamaah yang termotivasi
memberi infaq untuk pembangunan masjid itu." Kata Ayah sambil berjalan
pulang menuju rumah.
Jarak
rumahku dan masjid tak cukup jauh tapi juga tak begitu dekat.Aku dan ayah
sempat mengobrol beberapa topik selama kami berjalan.
Sudah
aku rencanakan setelah sampai rumah nanti aku akan langsung ngaji dan tidur,
supaya aku tidak terlambat sahur. Terlebih lagi aku ingin meningkatkan kualitas
sholat malamku selama Ramadan ini. Aku ingin selama 30 hari penuh ke depan aku
tidak absen untuk sholat Lail.
Pokoknya harus menjadi Ramadan terbaik, demi menjadi auditor sistem informasi.
Aku
pun tertidur.
"Bangun,
Lif. Katanya minta dibangunin buat sholat Lail
dulu?"Suara Ibu membangunkanku dari tidur. "Bagus, Lif. Bulan Ramadan
jangan disia-siain.Ibadahnya kudu lebih tekun.Biar hajadmu yang macem-macem itu
diijabah semua.Wudu gih sana biar seger."
Aku
yang semula ngantuk berat, mendadak semangat untuk mengambil
air wudu setelah diingatkan oleh Ibu tentang impianku
itu.Setelah itu kami sekeluarga menyantap sahur bersama.
"Alif,
dispensernya mampet lagi.Kran air panasnya nggak mau ngalir," kata mbak
Husna kakakku.
"Sekalian
aja nanti siang dibawa ke tukang servis sambil nganter Ibu ke pasar,"
tambah Ibu.
Hari
itu aku memang sedang libur.Sudah aku
janjikan kepada Ibu untuk mengantarnya ke pasar. Bagiku, pergi berbelanja di
pasar adalah hal yang cukup membuatku malas karena pasti akan memakan banyak
waktu untuk melihat-lihat barang ini dan itu, padahal
belum tentu beli.Yah, seperti itulah wanita. Namun hari ini
aku sudah janji.
"Sip,
kita bawa sekalian nanti, Bu."Jawabku.
Siangnya
aku dan Ibu berangkat ke pasar naik mobil. Panasnya cuaca terik di siang kota Semarang
cukup teratasi oleh suhu dalam mobil yang dingin. Berbelanja kebutuhan rumah
tangga pun terjadi seperti yang biasa aku bayangkan.Meski memakan waktu cukup
panjang, namun akhirnya selesai juga.
Kami
berlanjut menuju ke tukang servis dispenser.Alhamdulillah
pelayanannya cepat sehingga kami bisa segera pulang.
"Perasaan
kita udah lama banget. Rupanya baru jam 1 siang ya, Bu." Kataku sambil
nyetir mobil menuju rumah.
"Ya,
namanya orang puasa, Lif.Kepinginnya cepet-cepet maghrib aja."Jawab Ibu.
Baru
beberapa meter menuju rumah, tiba-tiba kepalaku pusing sekali. Mendadak rasanya
seperti mau pingsan.
"Bu,
kok Alif tiba-tiba pusing banget,
ya.Rasanya kepala jadi berat banget."Aku memberitaukan kondisiku yang
tiba-tiba aneh kepada Ibu.Bahkan nyetir mobil pun rasanya tidak bisa
konsentrasi.
"Lho
kok badanmu jadi panas begini, Lif?"Kata Ibu sambil memeriksa suhu
kepalaku dengan telapaknya.Pelan-pelan aja
nyetirnya.Nanti mampir ke apotek sekalian beli obat."
Dulu
aku pernah terkena penyakit demam berdarah. Sayangnya, gejala penyakit itu sama
persis seperti yang sedang aku rasakan sekarang. Aku
khawatir kalau ternyata benar terulang kembali kisahnya.Pasar
tempat kami belanja tadi memang cukup banyak
nyamuk.
"Masih
kuat nyetirnya, Lif?Atau istirahat dulu bentar?" Ibu
bertanya dengan penuh rasa khawatir."Kuat kok, Bu. Insha Allah."Aku berusaha menguatkan diri dari rasa pusing di
kepala yang teramat.Jarak menuju rumahku memang lumayan jauh.
Akhirnya
aku sampai di rumah.Tidak sempat aku memperhatikan kerapihan parkir mobilku,
aku langsung ambruk di tempat tidur kamarku.
"Sholat
dulu, Lif.Kalau tidak kuat berdiri ya sambil duduk atau
berbaring."Lagi-lagi Ibu mengingatkanku perkara ibadah. Ah, nyetir mobil
saja masih kuat, masak sholat tidak bisa. Aku berusaha
bangkit dan mengambil air wudu untuk sholat. Bahkan aku paksakan diriku untuk
tetap mengerjakan sunnahRawatib. Ini harus menjadi Ramadan
terbaikku.
Setelah
itu, kembali aku terkapar di tempat tidur.Badanku rasanya semakin
panas.Kepalaku jauh lebih pusing dari yang sebelumnya. Entah penyakit apa yang
tiba-tiba datang ini. Kondisi tubuhku saat ini
membuatku tertidur.
"Lho,
Alif sakit to, Bu?”
Terdengar
suara mbak Rini menyadarkanku dari tidur.Dia adalah kakak pertamaku.Rumahnya
tak jauh dari sini.Dia bekerja sebagai dokter di Puskesmas dekat rumah.Mungkin Ibu memanggilnya untuk memeriksa keadaanku.
"Iya.Tiba-tiba
Alif demam setelah dari pasar tadi.Coba kamu lihat
kondisinya di kamar."Jawab Ibu sambil berjalan menuju ke kamar
menghampiriku.
"Kamu
aneh-aneh aja.Lagi bulan puasa yo jangan sakit."Kata mbak Rini kepadaku
sambil memasang termometer di badanku."Emangnya
siapa yang pingin sakit."Jawabku sekenanya.
Lima
menit berlalu.Mbak Rini mencabut termometernya untuk melihat suhu tubuhku.
"Lah,
kok sampai 39 lebih panasmu.Nanti obatnya jangan lupa diminum.Udah aku bawain."Mbak
Rini kaget melihat suhu tubuhku.Aku tidak berkomentar apa-apa karena terlalu
pusing.Pantas saja rasanya tidak karuan begini.Rupanya
suhu tubuhku sampai setinggi itu.
"Wajahmu
merah banget, Lif.Udah kamu batal aja.Dibatalin
puasanya biar bisa minum obat terus cepet sembuh."Kata Ibu sambil mulai
cemas.Wah,sepertinya kondisiku memang parah.
"Iya.Batalin
aja puasanya.Daripada sakitnya makin parah mendingan batalin aja sehari
ini.Mudah-mudahan besok udah bisa puasa lagi."Tambah Mbak Rini lagi.
"Aduh,
aku masih kuat kok puasanya.Asal aku tidur-tiduran seperti ini terus kan
lama-lama maghrib juga."Aku mencoba meyakinkan mereka dan menguatkan
diriku sendiri sebenarnya.Payah sekali ini jadinya.Bagaimana
aku bisa membuat Ramadan terbaik seumur hidupku kalau hari pertama puasa saja
aku sudah setengah mati menahan demam.Apalagi
kalau sampai batal.
Aku
teringat ada seorang ulama yang mengatakan bahwa ketika
Allah memerintahkan manusia untuk berbuat suatu kebaikan, maka Allah pun akan
bertanggung jawab untuk membantu manusia itu menyelesaikan kebaikan yang
diperintahkan tadi. Aku terapkan mindset
itu untuk menyelesaikan puasaku hari ini. Allah memerintahkanku untuk puasa Ramadan,
maka aku yakin sekali Allah pasti akan memberiku
kekuatan untuk melaluinya. Walaupun dengan kondisi tubuh yang semakin
memprihatinkan.Akhirnya aku berhasil tertidur sejenak.
"Sekarang
malah sudah sampai 40 Bu panasnya."Suara mbak Rini membangunkan tidurku
lagi.Tanpa terasa dia baru saja kembali mengukur suhu tubuhku.Tampaknya naik
dari yang tadi.Pusing di kepalaku memang terasa semakin menjadi-jadi.
"Sudah
lah, batalin aja.Besok masih bisa diganti, Lif. Badanmu udah kayak gini."Ibuku
meminta demikian terhadapku. Tapi kali ini entah kenapa di tengah kondisiku yang
semakin lemah aku punya keyakinan yang kuat bahwa Allah akan memberi kekuatan.
Maka aku putuskan bertahan.
Menit demi menit aku
lalui. Akhirnya sudah memasuki waktu ashar juga.Aku turun dari tempat tidur
mengambil air wudu untuk sholat Ashar.Tak
lupa aku kerjakan Rawatib Qabliyah
sebelumnya.Harus menjadi Ramadan terbaik. Tentunya dengan segala kadar
kepayahan ini. Setelah itu aku kembali tidur.Kali inikepalaku sambil dikompres
karena semakin parah kondisinya.Aku kembali tertidur.
"Alif,
bangun, Lif. Sudah hampir maghrib. Badanmu gimana?"Lagi-lagi aku
dibangunkan oleh suara seseorang.Ternyata mbak Rini masih di sini. Oiya,
dia kan mau membawakan obat untukku.
Kondisiku
sudah cukup baik walaupun belum bisa disebut normal. Mungkin karena cuaca menjelang
maghrib juga relatif lebih adem.
Alhamdulillah
akhirnya sebentar lagi aku berhasil melewati hari pertama Ramadanku dengan
penuh perjuangan.
Bedug
maghrib pun bergema. Adzan maghrib menyusul berkumandang mengisi langit yang
jingga di sore itu dengan penuh kedamaian. Satu gelas es teh manis sengaja
sudah aku siapkan sebagai hadiah kemenanganku di hari itu. Alhamdulillah luar biasa nikmat yang aku rasakan saat itu.Seakan
aku melupakan kondisi tubuhku yang belum pulih.
"Ayo-ayo
segera makan nasi lalu minum obat."Kata Ibu sambil
menyiapkan piring di meja makan.Selesai sholat maghrib dan sunnahnya,
aku makan bersama ayah dan Ibu di meja makan.
"Sudah
dibenerin Lif dispensernya?"Tanya Ayah sambil mengambil tahu petis di
piring.
"Sudah
dong, Pak. Sampai sakit kayak gitu anaknya." Ibu yang
menjawab sambil bercanda.
"Malam
ini aku tarawih di rumah saja ya.Biar kondisiku benar-benar pulih dan besok
bisa puasa lagi." Kataku kepada Ayah dan Ibu.
Beberapa
saat kemudian adzan Isya berkumandang.Ayah, Ibu, dan mbak Husna berangkat
kemasjid.Sementara aku jaga rumah.Jaga kesehatan lebih tepatnya.
Tak
kalah dengan mereka, aku pun mengambil air wudu.Lalu aku mulai mengerjakan
ritual malam Ramadan di rumah. Sholat Isya, Rawatib,
Tarawih, ditutup dengan Witir.
Aku akan berusaha menciptakan Ramadan terbaikku. Walaupun aku tahu tak akan
bisa menjadi yang sempurna, namun selama masih bernafas
aku akan mencoba menjadi seperti yang Allah minta.
Beratnya
hal yang harus aku lalui di hari pertama Ramadan membuat hari-hari selanjutnya
menjadi sangat ringan bagiku untuk melaluinya.Tanpa terasa, sudah separuh lebih
bulan Ramadan aku lewati.
Tanpa
aku sangka, sepanjang hari itu ibadahku benar-benar sempurna tanpa cacat
sedikitpun.Bagaimana tidak?Tak pernah terlewatkan sehari pun aku tidak sholat Tahajud,
sholat Hajad, sholat Istikhoroh,
sholat Duha,
sholat Rawatib, sholat Tarawih,
sholat Witir, dan beberapa lembar lagi aku
khatam Al Quran.Sungguh semua itu adalah ikhtiarku agar aku bisa menjadi
auditor sistem informasi.
"Jarkom
tim sukses akuntansi! Jadwal Tes Kemampuan Dasar sudah bisa dilihat di
website.Registrasi dan pemilihan instansi sudah mulai bisa dieksekusikan di
website."Hei ini dia. Akhirnya datang juga pengumuman resmi terkait tes
penempatanku.
Tanpa
basa-basi ku buka websitenya.Kemudian ku lakukan registrasi dan pemilihan
instansi. Tak ada keraguan sedikitpun, ku pilih nama Inspektorat Jenderal
Kemenkeu sebagai tempat yang ku inginkan untuk berkarya nanti.
Rupanya
diminta memasukkan tiga instansi sebagai pilihannya.Baiklah,
ku masukkan dua instansi lainnya lagi yang sama-sama
hanya mempunyai kantor di ibukota saja.
Aku
membeli sebuah buku kumpulan soal yang cukup tebal. Jarak menuju hari dimana tes
akan diselenggarakan sekitar satu bulan lagi.
Sedangkan karena lebaran hanya tinggal sekitar satu
minggu lagi, masa bodoh pikirku dengan jadwal ujian yang sudah mepet.Ramadanku
harus berakhir dengan sempurna dahulu.Sebelum aku mengkhatamkan buku kumpulan
soal tadi, aku harus mengkhatamkan Al Quran terlebih dahulu.Prinsipku, kalau
sudah bisa mengambil hati Allah pasti mengambil dunia itu hal mudah.
"Amma yatasaa 'aluun..."
"Lho,
Alif sudah mau khatam ngajinya?" tanya Ayah sepulang tarawih saat tidak
sengaja mendengar tilawahku di kamar. Ayah memang lebih sering tilawah di
masjid setelah tarawih sehingga pulangnyalebih terlambat dari
yang lain.
"Iya.Keburu
lebaran ini, Yah."Jawabku.
"Ya sudah,
Lif.Malam ini dikhatamin dulu.Besok setelah
subuh Ayahbacakan doa khatam Al Quran." Kalimat dari Ayahmembuatku semakin
terpacu untuk segera mengkhatamkan Al Quran malam ini juga.
Alhamdulillah
masih ada beberapa hari sebelum Ramadan usai, tapi aku
telah mengkhatamkan Al Quran. Ayahku membacakanku doa, sementara aku
meng-aamiin-kannya.
Barulah
setelah itu aku mulai mempelajari dengan sungguh-sungguh buku kumpulan soal
yang aku beli beberapa waktu lalu.Sambil tetap aku menjaga rutinitas ibadahku
di sepuluh hari terakhir Ramadan.Bahkan justru ku tambah ibadahku dengan sholat
Taubat sebelum aku sholat Tahajud, Hajad,
dan Istikhoroh di malam hari.Maknanya adalah
sebelum kita meminta suatu hal, maka introspeksi lihat diri kita
dahulu.Bersihkan diri dari dosa dahulu, baru mulai bermunajad.
Terlebih
lagi ada iming-iming malam Lailatul Qadar
pada hari-hari tersebut. Ah Masha Allah betapa
bahagianya orang yang berhasil meraihnya. Tidak akan ada manusia yang tahu
kapan malam Lailatul Qadar datangnya,
apakah ia memperolehnya atau tidak, manusia tidak berhak menghakimi sendiri.
Hingga
tiba saatnya hari terakhir bulan Ramadan. Betapa bahagianya hari itu mengingat
nanti malam suara takbir sudah mulai bersahut-sahutan merayakan kemenangan umat
muslim dalam mengalahkan segala nafsunya selama satu bulan penuh. Terkhusus
bagiku, itu adalah perayaan kemenangan terbesar seumur hidupku. Aku akan
berhasil menciptakan Ramadan terbaik seumur hidupku.
"Alif,
nanti siang antar Ayahkepondok pesantren
di dekat R.S. Kariadi ya?" Seperti yang biasa aku lakukan di setiap
penghujung Ramadan, aku selalu mendampingi Ayahku sebagai amil zakat untuk mengantar beras zakat fitrah ke pondok-pondok
pesantren sekitar kota. Tak jauh beda dengan kuli panggul, aku senang bisa
membantu Ayah mengangkat berkarung-karung beras.
"Sebenarnya
kalau mau, kita juga bisa minta jatah berasnya,
Lif.Amil zakat kan memang punya
prioritas. Tapi masih ada di sana yang jauh lebih membutuhkan beras itu."
Kata Ayahselama perjalanan. "Betul, Yah. Kita bisa bantuin begini saja
rasanya udah seneng banget."Jawabku.
"Allahu'akbar
Allahu'akbar Allahu'akbar.La'illaha ilallahu Allahu'akbar.Allahu'akbar
walillahilhamdu."
Alhamdulillah
suara takbir yang dirindukan bergema juga. Usai sudah bulan suci yang
dinantikan oleh seluruh umat muslim tersebut. Rasa haru memenuhi seluruh rongga
dadaku.Tak dapat aku menyangka.Tak dapat aku menyadarinya.Ini adalah Ramadan
dengan ibadah paling sempurna seumur hidupku.Entah kekuatan darimana, bulan Ramadanku
yang diawali dengan demam setinggi 40 derajat akhirnya berakhir indah. Sholat
fardlu, sunnah Rawatib, Tarawih,
Witir, Taubat,
Tahajud, Hajad,
Istikhoroh, Duha,
khatam Al Quran, semua tuntas aku
kerjakan. Masha Allah aku terheran
dengan diriku sendiri.
Jika
dosa yang dilakukan kepada Allah bisa seketika lebur saat Idul Fitri, tapi dosa
yang dilakukan kepada manusia belum bisa lebur jikalau belum dimaafkan olehnya.
Untuk
menyempurnakan hari rayaku, tak segan-segan aku meminta maaf kepada seluruh
orang yang pernah aku temui sepanjang hidupku.Minimal, semua orang yang ada di
daftar kontak telepon dan teman facebookku.Aku
memohon maaf padanya satu
demi satu.Aku yang memang gemar berpuisi sengaja mengutip salah satu lirik lagu
sebagai bentuk ucapan maafnya.
"Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi.Aku
tenggelam dalam lautan luka dalam.Aku tersesat dan tak tahu arah jalan
pulang.Aku tanpa maafmu hanyalah butiran debu."
Aku
kirimkan kalimat tersebut.
Masih
tersisa dua minggu waktuku untuk mempersiapkan tes.Entah kekuatan darimana lagi
datangnya, buku kumpulan soal yang begitu tebalnya mampu aku khatamkan hanya
dalam waktu kurang dari satu minggu.Bahkan karena waktu masih ada, aku membeli
lagi buku kumpulan soal lainnya dan aku sikat habis dalam waktu kurang dari
satu minggu pula.Mungkin inilah keajaiban berkah dari
memprioritaskan untuk mengkhatamkan Al Quran terlebih dahulu.Aku yang semula
hanya membaca satu buku saja sepertinya sudah terlalu banyak dan tebal justru
kini aku bisa menghabiskan dua buku.
Jadwal
lokasi tes sudah mulai diumumkan. Aku mendapat lokasi di Yogyakarta, sebuah
kota yang cukup menarik hatiku karena budaya keseniannya yang kental. Ada
seorang kawanku yang rumahnya tak jauh dari sana.
"Assalamualaikum, Vandy. Dapet lokasi tes
dimana? Aku di Jogja, boleh nginap di
tempatmu?" Ku kirim sms seperti itu kepada kawanku.
Beberapa
saat kemudian, dijawab olehnya, "Aku tes di
Jogja juga.Boleh, silakan nginap di rumahku.Dipta juga mau nginap kok.Sekalian
bisa kumpul, kan udah lama nggakketemu."
Dipta
juga salah satu teman dekatku.Dia anak Purwodadi.Senang sekali rasanya kalau
kami bertiga bisa kumpul."Wah, sip
kalau begitu.Makasih banget lho sebelumnya."Jawabku.
Hari
demi hari silih berganti.Sudah semakin tiba waktunya aku harus berangkat.
"Hati-hati,
Alif.Jangan lupa berdoa. Jangan kebanyakan main di sana. Ingat,
kamu ke sana mau ujian bukan main."Kata Ibu saat aku pamitan berangkat
ke Jogja. Ayahmengantarkusampai ke terminal, kemudian aku berangkat naik bus Semarang-Jogja.
Tak
bisa aku tahan rasa kangenku saat bertemu dua sahabatku itu.
"Tambah
gendut aja kamu, Van?haha" aku menyapa
Vandy yang memang tampak berbeda.
"Apa
nggak salah ini?Sepertinya kamu yang makin bunder, Lif?Oiya, Dipta motornya
baru terus, sekarang motor merek android." Jawab Vandi.
"Stiker
doang ini, Pak. Daerah rumahmu kayak tempat shooting FTV, banyak sawahnya,
hehe."Dipta tak mau kalah juga.Kami bertiga sedang
bernostalgia bersama.
Akhirnya
tiba saatnya hari ujian dimulai.Tidak ada alasan untukku gagal dalam menghadapi
ujian ini.Dari sisi usaha, sudah dua buku
kumpulan soal habis aku kerjakan. Dari sisi doa, justru aku berhasil
menciptakan Ramadan yang terbaik seumur hidupku. Maka aku datang ke lokasi
ujian dengan penuh percaya diri.
Hingga
tiba saatnya skenario Allah mulai berjalan tidak sesuai dengan rencanaku.
Aku
tekan tombol acak soal pada komputer yang ku pakai untuk ujian.Kemudian
muncullah deretan soal yang harus aku kerjakan. Soal macam apa ini? Revolusi
Prancis? Tap MPR? Hampir tidak ada soal yang ku pelajari di dua buku tebalku
itu yang muncul di situ.Aneh sekali.
Dengan susah payah aku mengerjakan soal
itu. Alhamdulillah lulus di atas passing grade dengan nilai yang tidak
begitu besar jika dibandingkan dengan Vandy dan Dipta.
Rasa
cemas mulai merasuk ke dalam
hati.Bisakah aku menjadi auditor sistem informasi di Inspektorat Jenderal
Kemenkeu?
"Udah,
yang penting lulus dulu aja. Daripada nggak lulus? Katanya ada temen kita yang
nggak lulus kasihan tuh." kata Vandy ketika tahu
kekhawatiranku saat itu. Baiklah kami bertiga mampir dulu ke Malioboro sebelum
pulang.
Jogja
memang kota penuh karya seni. Musisi jalanan ada di mana-mana dengan
keahliannya yang unik. Coret-coretan kota juga dimana-mana.
"Sejak
dulu aku heran, Lif. Gimana caranya mencoret-coret papan petunjuk
arah setinggi itu pakai cat pilok seperti itu?" Vandy
mengajakku bercanda.
"Ada
tekniknya pasti.Namanya juga seniman.Hehe."Aku menjawabnya tanpa berpikir.
Besoknya
aku pulang ke Semarang. Ah, walau bagaimanapun aku masih tetap kepikiran dengan
hasil tesku.
"Sudahlah,
Lif. Disyukuri aja dulu. Daripada nggak lulus tuh. Yang penting kan kamu udah
berusaha maksimal. Pasti Allah akan memberi yang paling baik."Kata mbak
Husna setelah mendengar ceritaku.
"Iya,
mbak.Pengumuman penempatan instansi satu minggu lagi" Ku jawab singkat
saja.
"Loh,
kok bibirmu merah lagi, Lif?Kamu demam lagi?"Mbak Husna memegang
dahiku.Rupanya aku terlalu memikirkan hasil tesku sampai badanku demam.
Aku
menunggu satu minggu hasil tesku sambil ditemani oleh demamku yang kali ini tak
kunjung turun sampai hampir satu minggu.Hingga tiba hari pengumuman instansi
tersebut, barulah demamku sedikit lebih reda.Akankah aku melihat namaku di
jajaran instansi Inspektorat Jenderal Kemenkeu
sebagai auditor sistem informasi?
Aku
buka webnya. Aku download datanya. Kemudian aku buka dan baca dengan penuh
perhatian.
"DINAR
RAFIKHALIF, DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN."
Mataku
tak salah membaca ini. Walaupun aku tak tahu instansi apa ini, tapi aku
tak memilihnya.Yang aku tahu pasti, ini adalah sebuah instansi yang
memiliki kantor vertikal tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan
demikian, label bekerja di tempat yang jauh akan menghiasi rutinitas hidupku.
“Aku di perbendaharaan, Pak.” Aku menginformasikan
nasibku kepada keluargaku.
“Tapi itu bukan pilihanku. Aku sengaja memilih instansi
yang tidak punya kantor vertikal biar aku tidak jauh dari sini. Ada banyak hal
yang bisa ku lakukan di sini.” Lanjutku.
Selain karena termotivasi menjadi seorang auditor sistem,
daftar keinginanku memang banyak sekali jumlahnya. Dan hanya Jakarta adalah
kota yang sanggup menyediakan semua itu. Boro-boro menjadi auditor sistem
informasi, kini peluangku tinggal di Jakarta semakin sempit. Bahkan untuk bekerja
di pulau Jawa saja susah. Kantorku tersebar dimana-mana. Tinggal mana nanti
tempatku untuk pertama kali mengabdi. Begitulah kira-kira aku mendapatkan
informasi dari seniorku yang sudah bekerja di perbendaharaan.
Aku ceritakan keadaan instansiku kepada keluargaku.
Khususnya kepada Ayah dan Ibuku. Aku juga ceritakan bagaimana kondisi
pekerjaanku disana. Walaupun ternyata instansiku ini beban kerjanya jauh lebih
tidak sibuk dibandingkan instansi yang aku pilih.
Bukan aku menyalahkan hasil pengumumanku ini. Tapi aku
masih belum bisa menerima dan masih mencari alasan. Kemana semua doa dan
usahaku ini perginya? Berubah jadi apa Ramadan terbaik yang sudah aku ciptakan
dengan penuh jerih payah ini?
“Disyukuri aja dulu. Ini pasti adalah tempat terbaikmu pilihan
dari Allah. Kamu masih muda, tak apalah jauh sebentar.” Kata Ayah mencoba
melegakanku. Namun pikiranku ini memang terlalu sulit diam. Dia terus berputar
mencari arti kemana langkahku pergi.
Monolog terhadap diri sendiri berkepanjangan ternyata
hanya membuat kalkulasi perasaan memuncak ke arah emosi. Ku salahkan semua
orang yang ada terlibat dalam fase kehidupanku ini. Tak lagi aku berpikir
tentang kedewasaan sikap. Bahkan aku mulai kurang ajar dan berani memaki
Tuhanku.
Apanya yang kurang dengan Ramadanku kemarin? Mana
keadilan dan nikmat yang Allah janjikan ketika hamba-Nya senantiasa bertaqwa.
Menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan, ah aku tak butuh itu
sekarang, semua itu omong kosong bagiku!
“Lif, Ayah masih memaklumi kamu jika marah ke Ayah, Ibu,
atau Mbak. Tapi Ayah tidak maafkan kamu kalau kamu berani marah kepada Allah
seperti ini. Kamu memalukan Ayahmu di mata Allah karena tak sanggup mendidikmu
menjadi laki-laki tegar.” Ayah memarahiku saat mendengar diriku memaki-maki.
Yah, itu juga tidak berpengaruh terhadap perasaanku yang sudah terlanjur kecewa
berat sama Allah.
Malam pun kian datang. Rona merah di ufuk barat
perlahan-lahan menghilang. Cahaya di langit seakan tersapu oleh kelamnya malam.
Seperti hilangnya harapan-harapan yang ku gantungkan di langit.
Mataku tak mampu untuk terpejam. Dia selalu menemani
kepalaku untuk berpikir. Tepat tengah malam, aku keluar menuju ke teras rumah.
Entah apa yang ada dalam pikiranku, aku malas sekali untuk masuk ke rumah.
Terlebih lagi Ayah baru saja memberikan teguran keras kepadaku. Aku melamun dan
sambil memutar lagu-lagu bernuansa kekecewaan dari ponselku.
Mendadak aku dikagetkan dengan suara pintu ditutup dari
dalam. Dan bunyi “klek” yang menandakan pintu itu juga baru saja dikunci dari
dalam. Aku terkunci di luar. Tidak. Aku sengaja dikunci di luar. Ini hukuman
dari Ayah karena kelakuanku tadi siang.
Tak ada pilihan lain, malam ini aku tidur di luar.
Hari berganti hari. Mau tak mau, diriku harus segera
bergegas ke Ibukota untuk pemberkasan dokumen sekaligus perkenalan instansiselama
beberapa hari. Kami satu angkatan dikumpulkan dalam sebuah ruangan yang masih
asing bagiku. Tepat di depan kami, sebuah slide presentasi yang sangat besar sedang
menampilkan gambarpeta indonesia yang sangat besar. Begitu luasnya Indonesia
saat itu, entah di sisi sebelah mana pada peta itu nantinya aku akan bertugas.
Perkenalan instansi pun dimulai. Para petinggi Ditjen
Perbendaharaan memperkenalkan kepada para calon pegawai baru ini bagaimana
seluk beluk kantornya nanti dengan gagah dan wibawa. Namun bagi kami yang masih
baru, mungkin justru malah mengerikan.
“Adik-adik, Indonesia itu luas. Jangan takut, di bumi
pertiwi tercinta inilah nanti segala kemungkinan dimana adik-adik akan bekerja
nanti bisa terjadi.” Pak Galih, seorang pegawai di bagian kepegawaian, menceritakan
banyak sekali hal yang bisa didapatkan di organisasi ini.
Masih banyak sekali sebetulnya hal yang membuatku
penasaran dan belum tersampaikan pada pemaparan dari Pak Galih. Sesi tanya
jawab pun dibuka untuk tiga buah pertanyaan. Tanpa ragu-ragu, aku mengangkat
tanganku tinggi untuk menanyakan hal yang sangat mendasar dalam hidupku.
“Terima kasih atas kesempatannya. Pertanyaan saya
sederhana sekali, apakah bisa nanti saya yang lulusan D3 Akuntansi ini
melanjutkan kuliah S1 jurusan Teknik Informatika?” Walau banyak sekali hal yang
membuat kepalaku ini berpikir, namun hanya itulah kalimat yang terucap dari
mulutku.
Setelah beberapa pertanyaan lainnya juga ditanyakan oleh
para calon pegawai baru, kini giliran Pak Galih yang akan menjawab pertanyaan
dariku. “Pertanyaan dari Alif, apakah bisa seorang lulusan D3 Akuntansi
melanjutkan kuliah S1 Teknik Informatika di sini? Sangat bisa, Mas! Ditjen
Perbendaharaan tidak membatasi pegawainya untuk mengembangkan diri. Silakan
mengembangkan potensi yang adik-adik miliki. Kami sangat terbuka dan
menyediakan banyak sekali beasiswa untuk itu.”
Masha Allah. Aku terkejut melihat jawaban yang sangat melegakan dari Pak Galih.
Setahuku, melanjutkan kuliah saja biasanya dipersulit kantor. Ini justru malah
ada beasiswa. Bahkan jurusannya pun tak harus sama dengan sebelumnya. Kami
bebas mengembangkan karya.
Setelah beberapa hari mengurus pemberkasan, aku kembali
ke rumah.
Aku menceritakan profil singkat Ditjen Perbendaharaan
kepada orang tuaku.Terutama untuk perihal beasiswa jawaban dari Pak Galih. Tiba-tiba
Ayahku mengatakan sesuatu yang cukup mengejutkanku. “Lif, sebenarnya Ayah dan
Ibu lebih tenang kamu masuk di organisasi ini daripada menjadi auditor di
Inspektorat Jenderal. Ayah merasakan sendiri betapa repotnya Ayah sebagai
kepala sekolah ketika diaudit oleh orang-orang dari inspektorat. Apa yang
mereka minta sudah Ayah berikan. Yang sudah benar masih dicari-cari salahnya.”
Ayah diam sejenak, lalu melanjutkan untaian kalimatnya.
“Ayah tidak bisa membayangkan jika yang menjadi auditor adalah Alif sendiri.
Dari depan auditor memang semua orang bersikap manis, Lif. Tapi kita tidak tahu
berapa kali auditor akan membuat sakit hati orang yang diaudit.”
Kemudian Ibu juga turut menambahkan. “Menjadi pegawai
Ditjen Perbendaharaan adalah jawaban yang terbaik, Lif. Betapa khawatirnya Ibu
melihat di televisi banyak pejabat keuangan yang terjerat kasus pidana. Insha Allah menjadi bendahara negara
akan lebih aman karena tugas bendahara yang lebih kecil risiko daripada menjadi
pemeriksa.”
Aku mengangguk. Bukan masalah apa yang dikatakan oleh
kedua orang tuaku tadi. Namun sepertinya aku baru saja melewati sebuah
perjalanan hidup yang tak akan terlupakan dan memberikan pelajaran yang besar.
Aku memang telah menciptakan Ramadan terbaik seumur
hidupku. Telah ku laksanakan dengan penuh deru semangat tiap butiran ibadah
yang tampak di bulan yang penuh rahmat itu. Laksana kuda perang yang berlari
menggebu-gebu dan menderu untuk bertempur di medan perang seperti yang
dikisahkan dalam Al Quran surah Al Adiyat. Aku melakukannya dengan sangat
sempurna dan tak ada yang salah dengan itu.
Namun aku tersadar bahwa ternyata Ramadan terbaikku tak
mampu membeli doa kedua orang tuaku.
Sekuat apapun usaha dan
doa yang sudah aku lakukan, namun jika tak ada restu dari orang tua, maka tak
akan ada pula restu dari Allah. Yang terjadi adalah tak akan bisa terlaksana.
Karena ridha Allah tergantung dengan ridha orang tua.
Ayah Ibuku rupanya tak
merestui diriku untuk menjadi seorang auditor.
Bukan, kali ini tidak ada
yang salah. Kecuali diriku yang salah. Aku berhasil meyakinkan Allah dengan
segala ibadah yang ku lakukan dengan penuh perjuangan selama Ramadan. Aku lawan
segala kemalasan dan rasa sakit tak tertahan di hari pertama Ramadanku untuk
tetap beribadah. Tapi aku tak berhasil meyakinkan kedua orang tuaku sendiri,
itulah kesalahanku.
Kata para ulama, doa orang
tua jauh lebih dahsyat daripada doa seratus ulama itu sendiri. Aku tak percaya
itu. Menurutku, doa orang tua nilainya jauh lebih dahsyat daripada doa
beribu-ribu ulama. Bahkan doa orang tua mungkin mampu mengalahkan malam yang
lebih berharga daripada seribu bulan. Malam Lailatul
Qadar di bulan Ramadan.
Satu tahun berlalu begitu
cepat.
Sekarang aku telah
ditugaskan menjadi verifikator anggaran di sebuah kantor perbendaharaan yang
terletak di salah satu sudut nusantara timur.
“Alif, bagus banget
pemandangannya. Foto dimana?” Tanya Ibuku dari Semarang.
“Ini gunung yang ada di
gambar uang seribu rupiah kertas, Bu.” Jawabku melalui chatting di ponselku. Di
sini pemandangan indah ada dimana-mana. Ternate, ibukota Maluku Utara,menjadi
tempat yang dipilihkan Allah untukku mengabdi.
Kini aku selalu berusaha meyakinkan
impianku kepada kedua orang tuaku. Impianku kali ini adalah memperoleh beasiswa
S1 Teknik Informatika di ITS. “Kalau aku bisa mendapat beasiswa kuliah S1
Teknik Informatika, aku akan menjadi programmer dan pasti akan ditarik ke
Jakarta lagi. Dengan begitu aku bisa mengembangkan banyak potensiku lainnya di
sana.Aku bisa menjadi penulis,membuka bisnis percetakan buku, menjadi motivator,
menjual lagu hasil karyaku di berbagai label di Ibukota, insha Allah aku akan segera
sukses dan pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.” Kali ini aku
lebih mantap dalam meyakinkan orang tuaku.
Banyak orang lari kesana
kemari mencari ulama dan pemuka agama untuk minta didoakan. Bahkan tak jarang
dari mereka yang harus sampai menyeberang lautan atau mengeluarkan jutaan
rupiah untuk itu. Mereka melupakan bahwa ternyata di rumahnya sendiri ada dua
manusia suci yang diciptakan Allah sebagai perwakilan-Nya di muka bumi.
Dia adalah Ayah dan Ibu. Jika Allah berkehendak, maka tak
ada sehelai daun sekalipun yang jatuh di tengah malam tanpa seizin-Nya. Bahkan
menerbitkan dan menenggelamkan matahari setiap hari pun Dia tak kesulitan
sedikitpun. Namun Allah menahan semua yang seharusnya mudah bagi-Nya hanya
untuk menunggu ridho Ayah dan Ibu. Tentu saja dengan Allah selalu tetapkan
banyak skenario indah dibalik segala keputusan itu.
Ku pikir menjadi auditor sistem informasi di Inspektorat
Jenderal adalah satu-satunya jalan untuk mengkolaborasikan kemuampuan IT-ku
dengan akuntansi. Rupanya aku keliru. Atas ridho dari orang tua, Allah berikan
Ditjen Perbendaharaan agar diriku nanti dapat kembali belajar menjadi mahasiswa
Teknik Informatika. Semua berawal dari Ramadan yang indah di tahun 2013.
“Alif, jam berapa sekarang di Ternate?”
================end=======================
Suasana perjalanan menuju Ternate, view dari atas pesawat :
Memproses pencairan dana saja kami begitu bergegas mengejar batas waktu pelayanan...
Demi mencapai indikator kinerja utama dengan nilai yang tinggi...
Namun seringkali kami tak segera bergegas mengejar batas waktu iqamah shalat...
Sehingga pastilah indikator kinerja utama kami di mata Mu sangat mengecewakan...
Ya Allah, maafkanlah kami para pejuang perbendaharaan negara...
Berilah kami kecakapan dunia akhirat laksana Yusuf a.s. sbg bendahara negara mesir...
Aamiin...
http://dinarmagzz.blogspot.com/2014/09/bahkan-ramadan-tak-mampu-membeli-doa.html
0 Response to "BAHKAN RAMADAN TAK MAMPU MEMBELI DOA ORANG TUA"
Posting Komentar